Bopeng-Bopeng Pariwisata Indonesia

Tampaknya saya harus sepakat bahwa dunia pariwisata sedang menggelegak, panas. Tahun 2012 bolehlah dibilang tahun dimana dunia pariwisata Indonesia berada di era renaissance, era kebangkitan. Banyak sekali terobosan baik dari pemerintah, dari pelaku pariwisata dan para pejalan. Data sementara dari Januari – Oktober 2012 kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai  6.583.629 wisatawan atau naik 5 persen dibanding pada periode yang sama tahun 2012, yaitu 6.270.244 wisatawan. Target dari pemerintah adalah 8.000.000 wisatawan sepanjang 2012, jumlah yang semoga merepresentasikan dunia kepariwisataan Indonesia yang sedang mulai menggeliat kembali.

Tapi apakah selamanya dunia pariwisata akan gilang gemilang? tidak. Saya membaca tulisan dari H. Oka A. Yoeti, Dosen Luar Biasa Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti bahwa ada beberapa masalah pariwisata yang bisa menjadi ganjalan. Sesungguhnya tulisan tersebut sudah tulisan lama, tapi benar-benar masih relevan untuk direnungkan sekarang ini.

Ada beberapa sentilan di artikel tadi yang membuat saya mengernyitkan dahi dan setuju. Masalah yang harus diperbaiki adalah masalah SDM dan keberpihakan pada rakyat. Pak Oka menyorot di bidang SDM misalnya, banyak sekali sekolah pariwisata namun yang dihasilkan adalah para SDM di bidang ilmu pelayanan, bukan pada pengembangan pariwisata atau ekonomi pariwisata. Sehingga selama ini SDM yang dididik adalah berorientasi menjadi pelayan, ironis sekali. Selanjutnya, Pak Oka mengulik bagian pariwisata berorientasi rakyat. Karena jika memang pariwisata akan dibangun demi kepentingan rakyat, namun yang terjadi adalah rakyat hanya dinibobokan program pemerintah yang tidak jelas.

Sesungguhnya saya sepakat dengan Pak Oka. Kekurangan pariwisata Indonesia ada pada SDM, kalau soal SDA bolehlah kita berbangga hati. Masalahnya apabila SDA tidak diurus oleh SDM yang mumpuni, apa jadinya? hancur sudah. Tentu kita tak mau mendengar kehancuran objek wisata karena salah urus. Atau mendengar objek wisata yang tiba-tiba menjadi sakit karena tidak terurus lalu hancur lebur. Tidak, kita tidak mau itu terjadi.

SDM kita memang perlu belajar keras agar mampu mengelola pariwisata dengan benar. Bukan hanya faktor ekonomi saja yang diutamakan, bukan faktor eksplorasi keindahan yang mungkin lambat laun bisa menjadi sebuah eksploitasi.  Kadang saya sering merenung, kadang saya membatin, mungkin seharusnya objek wisata itu tidak usah dieksplorasi, biarkan tetap tersembunyi, biarkan tanpa pengunjung, dengan begitu dia tetap lestari. Saya sudah cukup sedih melihat kasus Pulau Tidung yang kemudian menjadi mengenaskan karena banyak pengunjung, saya sudah cukup sedih dengan kasus Pulau Sempu yang tiba-tiba mendadak menjadi destinasi wisata populer, dan saya sudah cukup sedih melihat kondisi Semeru menampung sekian ribu pengunjung berkedok bersih gunung.

Belum apa-apa,belum juga mendunia, baru terkenal di lingkup kl tapi sudah rusak. Sangat disayangkan bukan? justru nanti tidak akan menjadi pesona, tapi menjadi luka, bopeng. Dari sesuatu yang cantik, menjadi sesuatu yang rusak. Dari sesuatu yang seharusnya dipelihara menjadi sesuatu yang rusak dan butuh perbaikan total. Terkadang saya bersyukur, bahwa tempat wisata itu lebih dikenal oleh turis mancanegara yang kadang lebih bertanggungjawab. Dibanding turis lokal yang justru kadang seenaknya, tapi maafkan saya jika pendapat saya keliru. Saya belum cukup banyak berkunjung ke destinasi – destinasi elok di negeri ini.

Sungguh kadang saya takut memposting suatu tempat wisata di blog saya ini, saya takut akan banyak yang membaca tulisan saya, kemudian datang ke tempat tersebut sementara masyarakat setempat belum siap, dan fasilitasnya belum siap dan yang terjadi adalah justru sebaliknya, bukan menikmati keindahan namun justru mendatangkan kehancuran. Saya cukup sadar dan realistis bahwa masih banyak para pelaku wisata yang belum cukup bertanggung jawab. Dan itu yang saya takutkan, takut kalau-kalau tulisan saya, postingan saya, foto-foto saya justru akan menghancurkan objek wisata yang cantik itu.

Entah, tapi memang sepertinya itu trend. Trend untuk memposting foto-foto perjalanan yang paling eksotis, trend untuk memvisualkan alam yang cantik, trend untuk mempublikasikan hasil perjalanan. Tapi tanpa edukasi yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap tempat yang kita kunjungi. Seolah serempak berkata “ayo datangi tempat wisata!” tapi setelah itu tidak ada tindak lanjutnya. Yang kurang adalah edukasi kepariwisataan, edukasi bagaimana seharusnya kita bertanggung jawab terhadap dunia pariwisata.

Jika memang cara membangun pariwisata Indonesia dengan mempromosikan tempat wisata, lalu apakah mandeg di mempromosikan saja? bagaimana dengan edukasinya? bagaimana dengan menghargai masyarakatnya? entah saya gelap. Saya semakin takut, kita belum mampu menjadi SDM yang bagus bagi pariwisata kita, termasuk saya tentunya. Saya takut menjadi perusak, saya takut bahwa kontribusi saya terhadap suatu daerah menjadi negatif.

Kiranya mungkin kita bisa jadi terkenal dari tulisan-tulisan kita, dari foto-foto kita,dari video-video kita, tapi kita tidak mampu memberikan timbal balik yang positif, tidak mampu membangun pariwisata dengan baik. Itu yang saya takutkan. Nama boleh menjulang, tapi efek dibaliknya mengerikan.

Nanti ujungnya masyarakat yang dirugikan. Masyarakat yang seharusnya adalah stakeholder utama menjadi terpinggirkan, mengais-ngais dari apa yang insan pariwisata perbuat. Banyak kasus dimana masyarakat di tempat wisata justru menjadi terpinggirkan karena ekses eksploitasi tempat wisata. Tempat wisata menjadi maju, tapi masyarakat tetap terpinggirkan. Bukankah seharusnya sama-sama mensejahterakan?

Jika masyarakat belum siap menerima efek pariwisata yang seharusnya bisa memutar roda ekonomi, maka yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat tergerus, entah dari sisi ekonomi, entah dari sisi benturan budaya. Pada akhirnya masyarakat menjadi korban. Banyak sekali yang harus kita renungkan, banyak yang harus diperbaiki, banyak yang harus disadari dan disadarkan.

Menghormati masyarakat dan kearifan lokal mungkin salah satu tindakan terkecil yang bisa diperbuat. Karena merekalah sesungguhnya stakeholder suatu objek wisata. Kalau saja hal sekecil itu dilupakan, tamat. Orientasi ke depannya mungkin hanyalah profit, uang dan materi saja dari sebuah eksploitasi wisata. Dan tentu efeknya akan mengerikan, saya sendiri merinding membayangkan. Tapi coba bayangkan perlahan, jika kabarnya di akhir tahun 2012 ini ada 2000 orang yang akan berkunjung ke Karimunjawa. Bagaimana nanti kondisi Karimunjawa? oke, pengunjung senang, agen wisata dapat untung, tapi kondisi alam Karimunjawa? masyarakatnya?

Mungkin tulisan saya ini hanya sekedar asumsi, saya sendiri bukan pakar pariwisata. Anda bisa setuju bisa tidak, tapi SDM yang baik dan berkualitas perlu untuk mendukung SDA yang kaya dan indah ini. Dan bahwasanya kita perlu berkaca dan belajar masing-masing, sudahkah kita menjadi insan yang bertanggung jawab terhadap pariwisata? atau kita hanya akan menambah luka pariwisata kita.

10 thoughts on “Bopeng-Bopeng Pariwisata Indonesia

  1. aku sih melihat, Indonesia ini ibarat orang sedang bangun rumah, tapi belum selesei udah berani ngundang-undang orang datang bertamu. ada baiknya, “rumah” diperbaiki dulu, baik dari infrastuktur hingga perilaku tuan rumah, baru lah promo dgn baik.

    kalo misal rumah udah keren dan perilaku tuan rumah menyenangkan, tanpa perlu promo pun orang akan dengan sendirinya datang karena mendapat rekomendasi yang baik. begitu? 😀

  2. Saya akui, banyak pengunjung tempat wisata yg belum teredukasi secara baik utk menghargai tempat wisata, pun dgn pengelola tempat wisata. 2 pihak itu punya potensi utk merusak tempat wisata itu sendiri. ambil contoh gampangnya masbro, kyai langgeng di magelang, tempat ini nyaris tak ada perbaikan oleh pengelola, pengunjungnya ya tak kalah keren, entah ada berapa tulisan vandalisme di tempat ini. itu contoh kecil.
    dan yg paling buat miris kalo ada acara dgn embel2 “SAIL” apalagi taraf internasional, seolah pengelola acara mempersilakan ratusan mgkn ribuan kapal utk membuat pasir dari karang hidup dgn jangkar kapal. betapa destruktifnya kegiatan tsb. blm lg yg semeru kmrn, seakan pindah tempat pembuangan sampah ke gunung.
    tp tidak semua berakhir dgn kerusakan, kembali ke kampung kita masbro, stumbu bisa jadi contoh kemajuan dalam pengelolaan tmpt wisata. dulu tempat ini bukan tempat unggulan,hanya bukit tak bertuan. tp lihat sekarang, berubah total dan semua itu membawa kemajuan utk warga. itu jg tak lepas dari andil para traveler yg dgn sengaja memposting tulisan tentang stumbu.

    semua hal tentang pariwisata ini bagai simbol yin yang, ada terang dan ada gelap, ada positif dan pasti ada negatif, dan akhirnya tinggal bagaimana kita mulai utk bertanggung jawab dgn kelestarian tempat wisata, at least dari diri sendiri. (wah panjang bgt ini,. haha)

    • betul sekali… saya sendiri cukup takjub dengan konsistennya masyarakat yang mengelola stumbu. dari uang yang didapat dari pengunjung mereka melakukan perbaikan sedikit demi sedikit. mungkin jika konsep stumbu diterapkan ke hampir seluruh objek wisata, saya kira kita bisa optimis njar. 🙂
      thanks komennya. 🙂

  3. tulisan bisa mengedukasi juga bisa merubah, makanya kalau bikin tulisan ditambahi pesan moral juga kali ya. gak cuman menikmati saja. tetapi menikmati sekaligus menjaga. CMIIW 🙂

  4. yang lebih menyedihkan adalah tempat wisata dikuasai pemilik modal besar…. tanah-tanah dibeli sehingga pada akhirnya warga asli mendapat porsi kemakmuran yang sangat kecil.. menjadi pelayan di tanahnya sendiri..

Leave a reply to Fahmi Cancel reply