Sarjana

64045_4611048033159_924124754_n

semoga tulisan ini tidak dianggap tulisan kenarsisan diri.

Kemarin (24/07) saya akhirnya lega luar biasa. Apa pasal? saya sudah menerima lembar yang sah dan menyatakan bahwa saya sudah bisa memakai gelar sarjana di belakang nama saya. Walaupun sebenarnya secara de facto, saya sudah bisa menyandang gelar sarjana sejak Desember 2012 lalu. ย Tidak ada yang istimewa dari kampus saya, hanya universitas swasta di Jalan Suci, Bandung. Nama universitasnya cukup panjang, Universitas Sangga Buana YPKP, terkadang cukup disingkat USB atau YPKP saja.

Awal memilih kuliah saya bimbang. Di Garut pilihannya sangat terbatas, hanya ada 1 universitas yang sesuai dengan aturan di kantor. Itupun saat konversi duh pelit sekali, hanya sedikit dari SKS saya di D3 yang diakui, dan jenjang waktu kuliah sampai 3 tahun, masa iya saya masih harus menambah 3 tahun lagi? Opsi kedua adalah mengikuti kuliah di Universitas Terbuka, inipun saya langsung coret dari pilihan karena saya merasa ragu bisa kuliah online. Saya orangnya senang berdiskusi dan lebih tertarik bertatap muka dengan dosen.

Selanjutnya adalah D4, ah ini sudah diluar jangkauan karena saya tak sempat belajar. Ditengah kebingunan saya hampir saja mendaftar di universitas di Garut ketika teman kantor saya mengajak untuk kuliah di YPKP, di Bandung. Ini ide cukup gila tapi memungkinkan karena toh di Garut pun ada pegawai yang setiap hari pulang pergi Bandung – Garut, kalau mereka bisa kenapa saya tidak?

Setelah mengurus izin akhirnya saya mendaftar dan tercatat sebagai mahasiswa YPKP. Ah, akhirnya saya merasakan kuliah S1 setelah tertunda ย 2 tahun lamanya. Untung saja atasan saya baik hati, walaupun lokasi kuliah saya jauh tapi masih bisa ditoleransi karena jaraknya masih dalam cakupan 60 kilometer. Mulai September 2011 saya tercatat kembali sebagai mahasiswa.

Awalnya saya merasa rutinitas kuliah ini sangat berat. Pukul 5 sore sepulang kantor saya menuju Bandung, sepulang kuliah jam 9 malam saya kembali ke Garut. Tak jarang sampai Garut sudah tengah malam, sudah kehilangan tenaga, tinggal tidur saja yang ada di pikiran. Beberapa kawan saya bilang saya kurang kerjaan, kenapa tidak memilih kuliah di tempat yang dekat. Ironisnya mereka yang bilang adalah yang tinggal di kota besar, dimana memilih tempat kuliah semudah menunjuk minuman yang akan dibeli di supermarket, tinggal tunjuk dan banyak pilihan.

Tapi tekad saya sudah bulat. Hampir 130 kilometer setiap harinya saya tempuh, Bandung – Garut pulang pergi. Saya tak menganggap bahwa kuliah yang saya lakukan hanya demi mengejar ijazah dan menambah gelar serta naik pangkat. Tidak, jika tujuannya itu saya tak perlu susah payah datang kuliah, cukup titip absen dan datang saat ujian, perkara dapat ilmu atau tidak itu nomor kesekian.

Saya sudah hampir menyerah, saya merasa gagal. Ternyata idealisme diatas hampir habis di bulan kedua kuliah. Capek kerja ditambah harus melakukan perjalanan panjang setiap sorenya dan pulang hampir larut malam membuat saya kelelahan luar biasa. Kerja malah tidak maksimal, materi kuliah pun tak ada yang masuk di otak. Tapi saya tak boleh berhenti disini, saya sudah kadung kuliah, sayang berhenti di tengah jalan.

Akhirnya saya memutuskan untuk tinggal di Bandung saja agar lebih mudah. Beruntung karib saya, Endra bersedia memberikan separuh ruang kamarnya untuk saya. Jadilah selama kuliah saya tinggal di kamar Endra di pojokan Dipati Ukur. Rutinitas saya berubah sekarang, jam 5 sore sepulang kerja saya bergegas ke Bandung, ikut dengan rombongan para pegawai yang pulang pergi Bandung – Garut setiap hari. Sampai di Bandung jam 7 atau bahkan setengah 8 malam, kuliah sampai jam 9 lalu pulang ke tempat Endra. Lalu pagi jam 4 saya sudah bangun, mandi, menunggu waktu shubuh dan jam 4.30 saya sudah di jalanan, sepagi itu saya sudah harus berangkat ke Garut, menempuh jarak 65 kilometer dari Dago Atas sampai kantor saya di Garut.

Dosen-dosen saya menganggap saya gila dan tidak percaya. Beberapa dosen berbaik hati memberikan kompensasi pada saya, karena saya pasti terlambat saat masuk kelas. Lalu lintas Bandung – Garut memang kadang bangsat, terhambat banjir atau jam pulang pabrik yang membuat macet panjang. Sering saya ke kampus dengan tangan hampa, begitu sampai ke kampus, kuliah sudah selesai, saya hanya bisa pasrah dan berharap dosen bermurah hati. Macet, banjir dan berbagai halangan di jalan sudah menjadi makanan sehari-hari. Telat datang ke kantor walaupun dari Bandung sudah berangkat pagi buta sudah jadi hal yang lazim. 130 kilometer menjadi santapan setiap hari, melahap meter demi meter jalanan Bandung – Garut bolak balik setiap hari.

Tapi saya serius dengan kuliah saya dan ternyata saya menikmatinya. Dosen-dosen kampus saya kebanyakan adalah praktisi dan tidak terlalu banyak mengumbar teori. Aplikatif. Dosen statistik misalnya, dia sehari-harinya juga seorang konsultan statistik sekaligus peneliti, apa yang ia ajarkan adalah materi statistika yang umum dipakai di dunia kerja. Dosen Pasar Modal saya bahkan pernah menjadi seorang pialang saham, di suatu sesi kuliahnya dia memanggil temannya seorang pialang saham dan membuat kelas pasar saham langsung dari pakarnya. Saya tak menganggap kuliah hanya demi ijazah, diluar itu banyak sekali wawasan dan ilmu baru yang saya dapat semasa kuliah.

Terkadang saya lelah sekali dan yang saya lakukan adalah mengerasi diri sendiri. Saya tak akan maju jika tidak kuliah, saya akan kalah jika menyerah. Kuliah tak sekedar soal melanjutkan jenjang tapi juga soal bagaimana mendapatkan wawasan baru. Jika saya mengeluh artinya saya tidak ikhlas menjalani kuliah, maka saya harus banyak-banyak bersyukur karena teman seangkatan yang di daerah banyak yang kesusahan mencari kuliah bahkan banyak yang belum bisa kuliah. Saya berkeras hati untuk konsisten belajar sampai lulus, walau rasanya berat sekali.

Menjalani rutinitas seperti ini awalnya memang berat sekali, bayangkan saya harus pulang pergi Bandung – Garut setiap hari, pagi kerja, malam kuliah, selepas kuliah masih mengerjakan tugas, pagi buta saya harus berangkat ke Garut lagi. Tapi lambat laun menjadi ringan. Kerjaan kantor bisa teratasi, materi kuliah pun bisa terserap dan tugas-tugas kuliah bisa diselesaikan tepat waktu. 130 kilometer yang harus saya tempuh setiap hari yang awalnya adalah tembok penghalang yang rasanya berat ditembus, lambat laun sudah menjadi kawan akrab. Saya bahkan sampai hafal dimana ada lubang, belokan, turunan dan tanjakan sepanjang jalur Bandung – Garut karena saya setiap hari melalui jalur itu.

Tak terasa sudah 3 semester dan saya harus skripsi. Saya serius di skripsi saya, dosen pembimbing saya bilang saya idealis dan memperingatkan bahwa skripsi saya mungkin akan banyak ditentang. Tapi saya maju terus, kata ketua prodi saya skripsi S1 adalah soal bagaimana membuktikan teori dengan fenomena di lapangan. Saya sebaliknya, saya menguji apakah fenomena di lapangan sesuai dengan teori yang ada. Kelak kata salah satu dosen penguji saya, saya ini kepala batu, pelanggar aturan.

6 bulan saya berkutat dengan data, fenomena di kantor harus saya terjemahkan dalam angka. Selain itu saya juga melahap banyak jurnal, karya ilmiah dan buku-buku tentang Manajemen SDM. Pilihan penelitian saya adalah meneliti fenomena disiplin di kantor apakah ada kaitannya dengan penerimaan pajak tahun berjalan. Selama 6 bulan saya tenggelam dalam penelitian sampai skripsi selesai.

Menjelang sidang musibah datang, H-2 sidang materi skripsi saya hilang dicuri orang beserta tas yang dikira pencuri berisi laptop. Saya cetak ulang skripsi dan harus menghadapi sidang dalam kondisi lelah luar biasa. Saya dibantai, argumen saya ditolak, kata dosen penguji skripsi saya tidak sesuai pakem di universitas, tidak sesuai untuk S1. Saya diminta revisi besar-besaran. Saya menolak, ini karya saya selama 6 bulan. Melakukan penelitian sendiri, riset sendiri di kantor sampai menghasilkan sebuah skripsi. Nilai kelulusan saya ditunda sampai saya melakukan revisi.

Tapi saya berkeras, beberapa kali melakukan revisi sampai akhirnya bertemu kompromi. Inti skripsi saya akhirnya diterima, kata dosen pembimbing saya adalah orang pertama yang berkeras tidak mau mengikuti apa kata dosen dan mampu mengeluarkan argumen bantahan yang logis. Kata dosen pembimbing saya lagi, saya satu-satunya mahasiswa di kampus yang mengajukan konsep terbalik.

Ketika melakukan revisi dengan dosen penguji, tak jarang kami saling berdebat. Saya kukuh mempertahankan karya saya, walaupun pada akhirnya ada sedikit kompromi, ada jalan tengah. Di akhir revisi dosen penguji saya bilang bahwa seharusnya skripsi saya dimasukkan ke jurnal ilmiah, karena skripsi saya pantas untuk itu. Namun itu bukan tujuan saya, saya hanya berusaha membuat karya dari hasil pemikiran saya sendiri sampai akhir dan saya bersyukur, akhirnya skripsi dan sidang saya diberi nilai tertinggi.

Kuliah memberikan saya banyak hal, soal disiplin, soal konsisten dan soal berjuang. Rasanya saya lega, saya masih tetap bisa bekerja namun tetap bisa lancar kuliah. Postingan ini tak bermaksud untuk menyombongkan diri, tapi saya ingin berkata bahwa dengan tekad kuat, hambatan apapun bisa diterjang, jika niat sudah bulat pasti jalan akan terbuka lebar.

Pada akhirnya saya bisa tersenyum, nilai akhir saya pun mendapat predikat cum laude. Saya kira saya sudah cukup bersyukur dengan hasil yang saya peroleh dan tak akan menuntut lebih. Pada Tuhan, saya sangat berterima kasih bisa melalui satu episode pendidikan dalam hidup saya, sekarang saya sudah sarjana.

Tabik.

2x

Advertisement

40 thoughts on “Sarjana

  1. baca postingan ini saat lagi ngolah data untuk ngejar sidang setelah lebaran dan jaraknya tinggal seminggu menuju pendaftran terakhir sidang….
    Jadi semangaaat. Nice posting, Mas ๐Ÿ˜€

    • hai kaz..semoga segera lulus ya. ๐Ÿ™‚ tidak ada penyesalan setelah bekerja keras dan mencapai hasil sesuai kerja keras kita.
      semangat!

      • Makasih mas semangatnya.
        Yap, entah kenapa semangat tiba2 bangkit 2 bulan belakangan ini, dan disaat hampir padam lagi tiba2 ada pengumuman untuk sidang, dan langsung ngebut lagi. Urusan apakah si dospem acc draf untuk ikut sidang atau tidak itu urusan belakang, yang penting kerjakan dulu sekarang hehehe ๐Ÿ˜€

      • hehe..benar..
        hambatan dalam skripsi dan menuju sidang adalah tiba-tiba ada masa dimana ada rasa begitu stuck banget.
        disaat itu mungkin yang dibutuhkan adalah rehat sejenak atau perlu lecutan semangat.
        anyway, saya berdoa untukmu, semoga sukses sidangnya.
        salam hangat dari Garut. ๐Ÿ™‚

  2. Selamat mas, terinspirasi baca semangat kuliahnya. Jempol deh ๐Ÿ˜€ Doakan saya juga bisa jadi sarjana kelak… ๐Ÿ™‚

  3. wah selamat ya dah jadi sarjana beneran, dan saya yakin bukan SE ( Sarjana Ecek – ecek ) he.he. dan tetap lah punya idealisme, karena itu yang akan menjadi modal utama pribadi yang tangguh…

  4. bersyukur yang didaerahnya ada universitas atau masih dekat dengan universitas. semoga semangatku untuk kuliah segera terealisasi dengan didekatkan dengan universitas yang didalamnya ada sesi tatap muka-nya.. ๐Ÿ™‚

    selamat yo chan!

    *failed in D4 pretest,no university nearest city, baru aja ada universitas negeri yang diresmikan juli ini, yang mana sebelumnya selama saya disini hanya berstatus “Insya Allah Negeri” ๐Ÿ˜€

  5. keren masnya.. ๐Ÿ˜‰

    saya sendiri kuliah sambil kerja dan banyak ngeluhnya… haha… :)))

    salutt… ๐Ÿ˜‰

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s